Kisah cinta pun banyak
bermunculan sejak pertama kali manusia diciptakan, mulai dari kisah cinta Adam
dan Hawa, ada pula yang berakhir tragis seperti kisah Qabil dan Habil,
menunjukkan manusia generasi pertama pun sudah memiliki rasa itu. Kebanyakan
seniman mengekspresikan rasa cinta ini dalam tulisan maupun lukisan, bahkan
juga dalam film. Hampir semuanya menggambarkan indahnya kisah cinta yang mampu
menyedot emosi dan menghanyutkan perasaan siapapun yang melihatnya. Namun, ada
pula yang berakhir tragis dalam kasih tak sampai seperti kisah “Siti Nurbaya”
maupun roman “Romeo and Juliet” karya William Shakespeare.
Tidak terkecuali saya, semua
manusia pasti pernah merasakannya, baik berakhir suka maupun duka. Namun, dalam
tulisan ini, ingin saya menuangkan arti cinta dalam pandangan dan hamparan
perjalanan hidup saya untuk memahami apa arti cinta itu sebenarnya. Bukan
berarti apa yang saya pahami adalah yang paling benar diantara pendapat
lainnya, setidaknya sedikit memberikan arti dan masukan bagi siapapun yang
membacanya.
Berawal dari sebuah buku yang
saya temukan di pasar buku Palasari Bandung. Ada sub judul yang paling menarik bagi
saya, tertulis dalam buku tersebut “Ketika
sebagian laki-laki berharap dapat menikahi wanita yang dicintainya, Aku memohon
dengan segala kerendahan hati untuk dapat mencintai wanita yang saya nikahi”.
Tidak mudah memahami kalimat itu, butuh waktu yang panjang untuk dapat
benar-benar memahaminya. Memang, kebanyakan orang, baik laki-laki maupun
perempuan, ingin menikah dengan seseorang yang dicintai, baik karena orientasi
fisik maupun kedekatan emosional. Sangat wajar ketika saya pernah menanyakan
hal tersebut pada seorang teman, seperti apa wanita idaman yang ingin engkau
nikahi? Jawabnya, “tinggi, putih, langsing dan setia”. Mhhh kalau gitu ada, tuh
nikahi aja tiang listrik, tinggi menjulang, putih, langsing dan setia gak kemana-mana dari dulu di situ terus.
Ada juga yang menjawab, “shalihah, pinter, cantik, anak orang kaya, anak
tunggal, calon dokter, baik hati, juga tidak sombong”. Mhhh mungkin kalau ada
yang seperti itu, mending untuk saya
dulu dari pada untuk ente.
Semua parameter ideal calon
pasangan diungkapkan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahan.
Cukup manusiawi dan wajar ketika parameter itu banyak mengarah ke masalah
fisik. Tapi, apakah itu cukup? Jika kita lihat dalam berita sehari-hari yang
kita baca, banyak pesohor negeri ini yang memiliki pasangan cantik atau tampan,
sedihnya sebanyak itu pula kita mendengar berita perpisahan mereka. Kurang
cantik gimana lagi si anu? Kurang sexy
seperti apalagi si itu? Kurang kaya apalagi si dia? Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu sangat mungkin akan muncul jika kita melihat suatu ikatan cinta
karena parameter fisik atau materi saja. Dalam pelaksanaannya, kehidupan yang
kemudian dijalani sehari-hari dengannya, kita mulai tahu seperti apa
kebiasannya, seperti apa karakternya, seperti apa sifatnya, kemudian kita dapat
menilai. Fisik pun semakin hari semakin menua, walau ditemukan obat anti aging
pun tetap tidak akan mampu menghentikan gerogotan penyakit tua ini. Lalu, apa
yang membuat seseorang mampu bertahan dan mempertahankan cintanya? Seseorang
akan mampu mempertahankan cintanya, akan mampu hidup dengannya, ketika dia
merasa NYAMAN dengan pasangannya. Ketika pasangan kita mampu kita ajak
komunikasi, mampu memahami apa yang kita inginkan, memiliki sesamaan visi, dan
juga mampu saling menguatkan.
Kemudian, pertanyaan lainnya
adalah apakah kenyamanan saat bersama pasangan kita adalah sebuah tanda cinta?
Bagaimana jika kita tidak merasa nyaman lagi? Lalu apa yang harus dilakukan?
Sebelum kita jawab pertanyaan di atas, saya ingin mengulas cinta dari berbagai
perspektif. Dalam kehidupan, sebenarnya sudah banyak yang mengajarkan kita
mengenai arti cinta itu sendiri. Namun terkadang karena tidak sesuai dengan
orientasi kita, lalu sinyal pembelajaran itu tidak mampu kita tangkap. Cinta menjadi
terlalu sempit jika diartikan hanya sebatas keinginan biologis maupun rasa
nyaman saat bersamanya, karena cinta memiliki arti yang jauh lebih besar dari
itu semua.
Jika kita mengartikan cinta
adalah ketulusan, maka kita dapat belajar dari cinta Allah pada hamba-Nya. Dia
akan senantiasa menanti cinta kita, senantiasa memberi apa yang kita minta,
melindungi kita dari mara bahaya, walupun kita mengingkarinya, walaupun kita
mendustakannya, walaupun kita tidak mentaatinya. Ahh terlalu jauh jika dibandingkan
dengan Tuhan. Ok, kita belajar pada matahari, setiap hari setia menerangi kita,
menumbuhkan tanaman untuk kita, memberi vitamin untuk kita, menghangatkan tubuh
kita jika kedinginan, atau sekedar memberikan sedikit ronanya agar kita mampu
menikmati keindahannya. Pernah kah sekali saja kita memberi pada matahari? Atau
bulan yang setia menemani malam kita, memberikan cahayanya agar malam kita
tidaklah menjadi kelam, pernah kah kita barang sebentar membersihkannya agar
cahayanya tidak memudar? Ahh mereka kan bukan mahluk hidup. Baiklah, kalau
begitu kita belajar cinta pada orang tua kita, yang mencintai kita tanpa ada
pilih kasih dengan saudara kita, tanpa meminta apapun dari kita. Mereka hanya
ingin melihat kita bahagia, di dunia dan akhirat.
Jika kita mengartikan cinta
adalah kesetiaan, kita dapat belajar pada Siti Hajar. Ketika Allah
memerintahkan suaminya Ibrahim as. untuk pergi ke Palestina, Ibrahim
meninggalkan istrinya beserta anaknya yang masih bayi di padang gersang,
sendiri dan tidak ada orang lain di sekitarnya. Apakah kemudian Hajar mutung dan meninggalkan Ibrahim? Tidak,
dia menantinya seperti apa yang diamanahkan padanya.
Jika kita mengartikan cinta
adalah sebuah komitmen, kita dapat belajar pada sosok Yusuf as. Ketika dia
digoda oleh Zulaikha, bukan berarti Yusuf tidak tergoda saat itu, sisi
manusiawinya menunjukkan ketertarikan pada Zulaikha yang rupawan. Namun
komitmennya pada Tuhannya yang mampu membuatnya menahan diri hingga saat yang
tepat telah tiba.
Jika kita mengartikan cinta adalah
kesabaran, kita dapat belajar pada Asyiah, istri Fir’aun. Betapa ia sabar dalam
keta’atan pada Tuhannya, tapi juga ia sangat sabar dalam melayani suaminya yang
kufur. Tiada keluhan atau keputusasaan, yang dilakukannya adalah berusaha untuk
senantiasa sabar menjalani peran hidupnya tersebut.
Jika kita mengartikan cinta
adalah pengorbanan, maka kita dapat belajar pada Bunda Khadijah yang mulia,
yang senantiasa berada di depan suaminya ketika masalah menghadangnya. Bukan
hanya jiwa dan raga yang ia berikan, bahkan seluruh hartanya pun direlakan
untuk perjuangan suaminya. Kita juga dapat belajar pada para pencinta di negeri
ambiya Palestina, mereka mengorbankan seluruhnya, nyawanya, keluarganya,
hartanya, bahkan waktunya untuk negeri yang dicintainya. Dan ingat, mereka
semua tidak pernah meminta balasan apapun.
Jika kita mengartikan cinta
adalah keteguhan, kita bisa belajar pada kisah cinta Yasir dan Sumayyah, yang
teguh dalam pendiriannya untuk mempertahankan keimanannya, walaupun siksaan tak
henti-hentinya hingga akhirnya mereka harus terpisahkan “di dunia” dan meregang
nyawa.
Jika kita mengartikan cinta
adalah kasih sayang, kita bia belajar pada Rasulullah saw. yang begitu sangat
mengasihi kita, menyayangi kita, mengajarkan kita tentang kebenaran, dan
mensyafa’ati kita di yaumul hisab kelak. Apakah kita telah membalas semua
jasanya? Banyak diantara kita yang malah menghinanya, menghujatnya, tidak
mengindahkan sunnahnya, bahkan mendustakannya. Lalu apakah kemudia ia membenci
kita? Tidak, ia selalu mengkhawatirkan kita hingga akhir hayatnya.
Dari beberapa contoh kisah cinta
yang saya tulis di atas, bisa kita lihat bahwa cinta tidak mesti mendapat
jawaban atau dijalani dengan kondisi yang nyaman. Cinta adalah sebuah ekspresi
dan konsekuensi dari apa yang kita cintai itu sendiri. Kadang penuh air mata,
tidak sedikit yang harus berdarah-darah. Apakah kemudian kita harus
meninggalkannya? Tidak salah jika sebuah buku tercipta dengan judul “Ketika
Cinta Harus Diupayakan”. Cinta tidak tumbuh dengan sendirinya, cinta juga tidak
bisa kita bunuh sekehendak kita. Kita akan merugi jika rasa cinta itu tercabut
dari diri kita. Cinta membutuhkan pengorbanan, ketulusan, kesabaran, keteguhan,
komitmen, dan kasih sayang. Baik terbalaskan atau tidak, atau membuat kita
nyaman atau tidak, bukan di situ letak orientasinya.
Dalam berumah tangga, tentu kita
menginginkan kita berada di taman bunga yang indah. Melihat bunga bermekaran
dengan Indah, harum semerbak, bahkan mungkin ingin menghisap madunya. Tapi,
bukan tidak mungkin kita bahkan menemukan bunga yang masih kuncup di hadapan
kita. Tugas kita lah untuk membuka kelopak keimanannya, membuka kelopak
cintanya, membuka kelopak kesabarannya, membuka kelopak kesetiaanya, dan
membuka kelopak kasih sayangnya agar kuncupnya mekar jadi bunga. Allah
tidak memberi apa yang kita inginkan, tapi Allah memberi apa yang kita
butuhkan. http://www.islamedia.web.id/2013/10/inikah-gerangan-cinta.html
Posting Komentar